STIGMA DI SEPUTAR
PELAYANAN KESEHATAN MENTAL
(*stigma adalah pandangan keliru yang berkembang di masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran)
Belum banyak masyarakat
kita yang menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan
tubuh. Fakta bahwa perasaan tertekan karena berbagai sebab dapat menyebabkan
seseorang kehilangan nafsu makan dan mengalami kesulitan tidur adalah sebagian kecil
bukti bahwa kondisi mental sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi fisik.
Ketidaktahuan ini menimbulkan berbagai stigma yang menghambat langkah
masyarakat untuk mencari pelayanan yang tepat ketika mengalami
ketidakseimbangan mental.
Sebelum menelusuri artikel
ini lebih lanjut, tidak ada salahnya bagi anda untuk mengetahui lebih dulu
profesi apa saja yang bergerak di bidang kesehatan mental. Setidaknya ada 3
profesi yang berkecimpung di bidang ini namun kurang dipahami dengan baik
perbedaannya, yaitu Psikolog, Psikiater, dan Psikoterapis. Psikolog adalah
lulusan sarjana psikologi dan pendidikan keprofesian psikolog. Sementara itu,
Psikiater adalah seorang dokter (lulusan sarjana kedokteran) yang telah
mengambil spesialis ahli jiwa (Sp.Aj). Psikoterapis adalah lulusan pendidikan
bersertifikasi di area terapi psikologis tertentu misalnya Hipnoterapi atau Art
Therapy dan mendapatkan lisensi untuk berpraktek setelah dinyatakan lulus oleh
lembaga yang memberikan sertifikasi. Kode etik praktik psikologi di Indonesia
sebetulnya tidak membolehkan mereka di luar profesi Psikiater dan Psikolog
untuk menjalankan praktek psikoterapi. Namun karena lemahnya regulasi dan
kontrol di area ini, maka sangat mungkin anda menemukan praktek-praktek
psikoterapi di negara kita dengan lisensi dari berbagai negara atau lembaga
tertentu.
Lalu, kapan anda
memerlukan bantuan Psikolog, Psikiater dan Psikoterapis? Pertimbangkan untuk
mengunjungi Psikolog lebih dulu jika anda membutuhkan bantuan psikologis.
Psikolog akan memberikan tindakan emergency (atau P3K) yang diperlukan jika
anda belum pernah mendiskusikan hal yang meresahkan jiwa anda kepada
profesional mana pun. Setelah mendengar keluhan anda dan mendapatkan diagnosis
bayangan (belum merupakan diagnosis final), Psikolog biasanya sudah dapat
merekomendasikan action plan atau tindak lanjut, berupa apakah kasus anda harus
dirujuk ke Psikiater/Psikoterapis atau mungkin dapat ditangani sendiri oleh
Psikolog yang bersangkutan dengan beberapa sesi konseling. Konseling merupakan
istilah lain untuk proses konsultasi dengan Psikolog/Psikiater yang juga
disebut Konselor. Klien yang telah menunjukkan ‘hendaya’ berat atau kondisi
dimana klien tidak mampu lagi menjalankan fungsi personal dasar seperti bersih
diri, kendali diri dan pengambilan keputusan yang buruk, serta tidak bisa
membedakan ilusi dengan realita, pada umumnya akan segera dirujuk ke Psikiater.
Dalam prakteknya,
pelayanan kesehatan mental seperti konseling psikologi masih mendapatkan
tantangan yang berat karena stigma yang berkembang di masyarakat
serta ketidaktahuan masyarakat tentang metode dan ‘output’ yang diberikan oleh
profesional di bidang kejiwaan ini. Berikut 6 stigma:
1. Konseling psikologi adalah curhat berbayar
Salah satu stigma yang
populer berkaitan dengan jasa konseling psikologi adalah dari manfaatnya yang
dinilai sama saja dengan ‘mencurahkan hati’ alias cur-hat yang sering kita
lakukan dengan sahabat atau orang yang kita percayai. Bahkan, selain harus
menyampaikan permasalahan kepada orang asing (Konselor adalah orang yang tidak
dikenal), klien juga harus mengeluarkan biaya atas jasa yang diberikan dalam
setiap proses konseling. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika lebih
banyak masyarakat yang paham bahwa konseling psikologi merupakan pendekatan
masalah yang ber-metode. Berbeda dengan ‘cur-hat’ dimana relatif hanya
dibutuhkan kesediaan mendengar dan sharing pengalaman pribadi, dalam konseling
psikologi, Konselor justru tidak diperkenankan untuk membagi pengalaman personalnya
karena ia harus memusatkan perhatian pada potensi-potensi yang dimiliki klien
untuk bisa segera ‘keluar’ dari masalahnya. Tujuan utama dari proses konseling
adalah untuk membantu klien mengenali faktor-faktor yang menghambatnya untuk
sampai kepada pemecahan masalah, yang seringkali justru bermula dari diri
sendiri. Misalnya seberapa besar minat untuk berubah, tipe kepribadiannya, pola
pikir-kebiasaan-gaya hidupnya, dan mekanisme pertahanan atau coping technique
yang dipilih untuk mengatasi masalahnya.
2) Datang ke ahli jiwa
berarti anda ‘sakit jiwa’
Pandangan seperti ini
tidak sepenuhnya keliru namun dalam perkembangannya sekarang lebih mengarah ke
‘par-no’ alias paranoid karena salah kaprah. Penyebabnya karena referensi
masyarakat yang masih sangat terbatas tentang jenis-jenis gangguan jiwa,
sehingga cenderung menyamaratakan problem kejiwaan ke dalam satu label yaitu
‘sakit jiwa’. Bayangan awam (yang berpendapat seperti ini) tentang mereka yang
‘sakit jiwa’ biasanya sangat ekstrim yaitu mereka yang terlihat tidak mampu
lagi mengontrol perilakunya, tidak bisa merawat diri, dan bicara sembarangan.
Padahal jika seseorang yang kita ketahui membutuhkan pertolongan kejiwaan dan
‘baru’ datang berobat setelah statusnya seperti ini maka akan sangat terlambat.
Sasaran ahli jiwa terutama Psikolog adalah individu yang masih mampu menilai
situasi untuk menyimpulkan bahwa dirinya mengalami ‘stres’, atau mengalami
perubahan dalam mood dan minat sehingga merasa diri mereka tidak produktif atau
tidak seperti diri mereka yang dulu dan ingin segera mencari jalan keluar dari
masalahnya. Sedikit berbeda dengan Psikiater, dimana pelayanannya dimungkinkan
untuk menangani individu yang telah kehilangan semua kemampuan judgement atau
penilaian, sehingga tindakan terapi neurologis melalui medis/obat sangat
diperlukan untuk mengurangi penderitaan klien.
3) Konselor adalah
problem solver
Karena konseling
biasanya dikenakan biaya tertentu, sangat wajar bila harapan atau tuntutan
klien terhadap konselornya cukup tinggi. Tidak sedikit yang mengharapkan
persoalannya selesai secara instan karena sudah ditangani oleh profesional.
Anggapan ini tidak begitu tepat, karena sebetulnya kunci pengambil keputusan
dalam setiap proses konseling atau terapi psikologi adalah klien sendiri.
Konselor hanya bertindak sebagai fasilitator yang akan membantu klien melihat
persoalan dari sudut pandang yang berbeda dengan mengenali pola pikir yang
terdistorsi, memodifikasi kebiasaan yang tidak diinginkan, serta memperbaiki
kepercayaan diri klien agar lebih berani menghadapi problem hidup dan lebih
mandiri dalam menyelesaikan masalah sendiri. Itulah sebabnya, proses konseling
atau psikoterapi biasanya harus dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan
sebelum nampak hasilnya. Karena itu pula, Konselor menyebut individu yang
mereka tangani sebagai ‘klien’, bukan pasien, mengingat klien diharapkan
proaktif dan perannya sangat menentukan keberhasilan proses konseling dan
psikoterapi.
4) Konseling hanya untuk
yang bermasalah saja.
Sangat jarang problem
yang terjadi pada manusia sifatnya single-cause atau hanya disebabkan satu
faktor saja. Penyebab persoalan manusia pada umumnya multi-faktor, terutama
yang terjadi pada usia kanak-kanak dan remaja. Tentu saja faktor individu
memainkan peran yang signifikan yang menyebabkan ia mengalami masalah. Namun,
faktor yang sifatnya individual tersebut bisa jadi tidak akan ‘menganggu’ jika
tidak terpicu oleh stimulasi lingkungan. Faktor eksternal yang menjadi pemicu
timbulnya problem pada seseorang istilahnya adalah ‘trigger’. Dinamika ini
menyebabkan kesembuhan individu klien lebih sulit dicapai jika tanpa dukungan
dari orang-orang ‘penting’ (significan others) seperti orang tua, saudara
kandung, pengasuh/care giver, guru, dan atasan jika yang bersangkutan sudah
bekerja. Sehingga, jangan terkejut bila anda juga akan dilibatkan dalam proses
konseling dan diminta untuk ikut pula melakukan perubahan layaknya seorang
klien demi membantu percepatan kesembuhan atau memulihkan kesehatan mental
orang terdekat anda. Ini juga mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial dimana keputusan dan perilakunya seringkali merupakan respon dari
stimulus yang diterimanya dari lingkungan.
5) Ketika Psikolog
memandang mata anda, maka ia sedang ‘membaca’ kepribadian anda.
Ini juga pandangan keliru
yang sayangnya masih banyak diyakini oleh sebagian masyarakat kita. Psikolog
sebagaimana Dokter pada dasarnya adalah seorang ilmuwan. Sebagai seorang
ilmuwan di bidang perilaku manusia, maka setiap pendekatan dan teknik
intervensi yang digunakan di ruang prakteknya harus memiliki pijakan empiris
berupa teori dan data. Sama dengan Dokter, Psikolog juga harus mendiagnosis
sebelum melakukan intervensi atau treatment terhadap kliennya. Yang sangat
mungkin terbaca oleh Psikolog ketika ‘menatap’ mata anda adalah hasil observasi
mengenai bahasa tubuh dan emosi anda. Benar bahwa hasil observasi adalah data,
namun akan sangat sedikit (insufficient) untuk ‘membaca’ kepribadian anda yang
super kompleks itu dalam waktu singkat. Dengan demikian, akan sangat tidak ‘fair’
pula bagi anda jika dinilai hanya berdasarkan hasil observasi saja. Untuk
mendapatkan data yang lebih akurat, Psikolog perlu menghimpun data tambahan
sebelum menarik kesimpulan, yang biasanya didapatkan melalui wawancara yang
lebih mendalam, angket evaluasi diri, dan tes-tes psikologi.
6) Psikiater lebih
profesional daripada Psikolog karena dapat meresepkan obat.
Meski sama-sama praktisi kesehatan mental, Psikiater
dan Psikolog menggunakan metode yang berbeda dalam menangani klien. Jika
Psikolog bertumpu pada aktifitas ‘mendengar-aktif’ dan ‘komunikasi persuasif’
untuk mendorong kesembuhan kliennya, maka sebagaimana Dokter pada umumnya,
seorang Psikiater berwenang untuk meresepkan obat-obatan di luar dari
pendekatan di atas. Sayangnya, tidak semua problem psikologis dapat dihilangkan
dengan penggunaan obat. Beberapa klien melaporkan
kurang merasa terbantu meskipun telah mendapatkan resep obat dari dokter ahli
jiwa/Psikiater. Jika pun ada, maka efeknya sementara saja bahkan bisa menimbulkan
adiksi dalam jangka panjang. Dalam prakteknya, Psikolog dan Psikiater bekerja
bahu membahu untuk membantu memulihkan kesehatan mental seseorang. Kembali lagi
kepada tingkat keparahan yang ditetapkan dari proses diagnosa karena cukup
banyak kasus yang berhasil ditangani ‘hanya’ melalui konseling dan psikoterapi
saja. Beberapa kasus memang harus didahului dengan penanganan psikiatri
misalnya mereka yang mengalami hendaya sangat berat seperti berhalusinasi,
sulit tidur, energi berlebih/mania, tidak mampu bergerak/stupor, tidak mampu
menahan impuls seperti kasus hiperaktivitas, dan adanya indikasi menyerang atau
membahayakan lingkungan. Setelah hendaya di atas berhasil dikendalikan dengan
terapi obat, maka ‘pasien’ akan dirujuk ke Psikolog untuk menjalani tahap
rehabilitasi dimana pada tahap ini ‘klien’ akan dipulihkan harga diri dan
kepercayaan dirinya kembali supaya dapat menjalani kehidupan normal seperti
sedia kala. Walau sangat disayangkan karena untuk gangguan jiwa tertentu, seorang
penderita dapat terus menjalani terapi obat sepanjang sisa hidupnya meskipun
sudah memasuki tahap rehabilitasi.
Demikian beberapa stigma
yang seringkali menghambat langkah seseorang untuk mendapatkan bantuan
profesional ketika merasa mengalami ketidakseimbangan mental. Ingatlah bahwa
kesehatan mental tidak kalah penting dengan kesehatan fisik. Segera cari tahu
profesional kesehatan mental di sekitar anda untuk mendapatkan pelayanan yang
dapat dipertanggungjawabkan ketika anda atau kerabat anda membutuhkannya.
Semoga bermanfaat.
Oleh: Desi Astanty - Psikolog
*Penulis adalah asesor dan konselor di Inner-Q Jambi