Friday, September 21, 2018

Anda dan Kesehatan Mental Anda: Stigma Pelayanan Kesehatan Mental

STIGMA DI SEPUTAR PELAYANAN KESEHATAN MENTAL

(*stigma adalah pandangan keliru yang berkembang di masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran)

Belum banyak masyarakat kita yang menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan tubuh. Fakta bahwa perasaan tertekan karena berbagai sebab dapat menyebabkan seseorang kehilangan nafsu makan dan mengalami kesulitan tidur adalah sebagian kecil bukti bahwa kondisi mental sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi fisik. Ketidaktahuan ini menimbulkan berbagai stigma yang menghambat langkah masyarakat untuk mencari pelayanan yang tepat ketika mengalami ketidakseimbangan mental.


Sebelum menelusuri artikel ini lebih lanjut, tidak ada salahnya bagi anda untuk mengetahui lebih dulu profesi apa saja yang bergerak di bidang kesehatan mental. Setidaknya ada 3 profesi yang berkecimpung di bidang ini namun kurang dipahami dengan baik perbedaannya, yaitu Psikolog, Psikiater, dan Psikoterapis. Psikolog adalah lulusan sarjana psikologi dan pendidikan keprofesian psikolog. Sementara itu, Psikiater adalah seorang dokter (lulusan sarjana kedokteran) yang telah mengambil spesialis ahli jiwa (Sp.Aj). Psikoterapis adalah lulusan pendidikan bersertifikasi di area terapi psikologis tertentu misalnya Hipnoterapi atau Art Therapy dan mendapatkan lisensi untuk berpraktek setelah dinyatakan lulus oleh lembaga yang memberikan sertifikasi. Kode etik praktik psikologi di Indonesia sebetulnya tidak membolehkan mereka di luar profesi Psikiater dan Psikolog untuk menjalankan praktek psikoterapi. Namun karena lemahnya regulasi dan kontrol di area ini, maka sangat mungkin anda menemukan praktek-praktek psikoterapi di negara kita dengan lisensi dari berbagai negara atau lembaga tertentu.

Lalu, kapan anda memerlukan bantuan Psikolog, Psikiater dan Psikoterapis? Pertimbangkan untuk mengunjungi Psikolog lebih dulu jika anda membutuhkan bantuan psikologis. Psikolog akan memberikan tindakan emergency (atau P3K) yang diperlukan jika anda belum pernah mendiskusikan hal yang meresahkan jiwa anda kepada profesional mana pun. Setelah mendengar keluhan anda dan mendapatkan diagnosis bayangan (belum merupakan diagnosis final), Psikolog biasanya sudah dapat merekomendasikan action plan atau tindak lanjut, berupa apakah kasus anda harus dirujuk ke Psikiater/Psikoterapis atau mungkin dapat ditangani sendiri oleh Psikolog yang bersangkutan dengan beberapa sesi konseling. Konseling merupakan istilah lain untuk proses konsultasi dengan Psikolog/Psikiater yang juga disebut Konselor. Klien yang telah menunjukkan ‘hendaya’ berat atau kondisi dimana klien tidak mampu lagi menjalankan fungsi personal dasar seperti bersih diri, kendali diri dan pengambilan keputusan yang buruk, serta tidak bisa membedakan ilusi dengan realita, pada umumnya akan segera dirujuk ke Psikiater.

Dalam prakteknya, pelayanan kesehatan mental seperti konseling psikologi masih mendapatkan tantangan yang berat karena stigma yang berkembang di masyarakat serta ketidaktahuan masyarakat tentang metode dan ‘output’ yang diberikan oleh profesional di bidang kejiwaan ini. Berikut 6 stigma:

1.    Konseling psikologi adalah curhat berbayar
Salah satu stigma yang populer berkaitan dengan jasa konseling psikologi adalah dari manfaatnya yang dinilai sama saja dengan ‘mencurahkan hati’ alias cur-hat yang sering kita lakukan dengan sahabat atau orang yang kita percayai. Bahkan, selain harus menyampaikan permasalahan kepada orang asing (Konselor adalah orang yang tidak dikenal), klien juga harus mengeluarkan biaya atas jasa yang diberikan dalam setiap proses konseling. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika lebih banyak masyarakat yang paham bahwa konseling psikologi merupakan pendekatan masalah yang ber-metode. Berbeda dengan ‘cur-hat’ dimana relatif hanya dibutuhkan kesediaan mendengar dan sharing pengalaman pribadi, dalam konseling psikologi, Konselor justru tidak diperkenankan untuk membagi pengalaman personalnya karena ia harus memusatkan perhatian pada potensi-potensi yang dimiliki klien untuk bisa segera ‘keluar’ dari masalahnya. Tujuan utama dari proses konseling adalah untuk membantu klien mengenali faktor-faktor yang menghambatnya untuk sampai kepada pemecahan masalah, yang seringkali justru bermula dari diri sendiri. Misalnya seberapa besar minat untuk berubah, tipe kepribadiannya, pola pikir-kebiasaan-gaya hidupnya, dan mekanisme pertahanan atau coping technique yang dipilih untuk mengatasi masalahnya.

2) Datang ke ahli jiwa berarti anda ‘sakit jiwa’
Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya keliru namun dalam perkembangannya sekarang lebih mengarah ke ‘par-no’ alias paranoid karena salah kaprah. Penyebabnya karena referensi masyarakat yang masih sangat terbatas tentang jenis-jenis gangguan jiwa, sehingga cenderung menyamaratakan problem kejiwaan ke dalam satu label yaitu ‘sakit jiwa’. Bayangan awam (yang berpendapat seperti ini) tentang mereka yang ‘sakit jiwa’ biasanya sangat ekstrim yaitu mereka yang terlihat tidak mampu lagi mengontrol perilakunya, tidak bisa merawat diri, dan bicara sembarangan. Padahal jika seseorang yang kita ketahui membutuhkan pertolongan kejiwaan dan ‘baru’ datang berobat setelah statusnya seperti ini maka akan sangat terlambat. Sasaran ahli jiwa terutama Psikolog adalah individu yang masih mampu menilai situasi untuk menyimpulkan bahwa dirinya mengalami ‘stres’, atau mengalami perubahan dalam mood dan minat sehingga merasa diri mereka tidak produktif atau tidak seperti diri mereka yang dulu dan ingin segera mencari jalan keluar dari masalahnya. Sedikit berbeda dengan Psikiater, dimana pelayanannya dimungkinkan untuk menangani individu yang telah kehilangan semua kemampuan judgement atau penilaian, sehingga tindakan terapi neurologis melalui medis/obat sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan klien.

3) Konselor adalah problem solver
Karena konseling biasanya dikenakan biaya tertentu, sangat wajar bila harapan atau tuntutan klien terhadap konselornya cukup tinggi. Tidak sedikit yang mengharapkan persoalannya selesai secara instan karena sudah ditangani oleh profesional. Anggapan ini tidak begitu tepat, karena sebetulnya kunci pengambil keputusan dalam setiap proses konseling atau terapi psikologi adalah klien sendiri. Konselor hanya bertindak sebagai fasilitator yang akan membantu klien melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda dengan mengenali pola pikir yang terdistorsi, memodifikasi kebiasaan yang tidak diinginkan, serta memperbaiki kepercayaan diri klien agar lebih berani menghadapi problem hidup dan lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah sendiri. Itulah sebabnya, proses konseling atau psikoterapi biasanya harus dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan sebelum nampak hasilnya. Karena itu pula, Konselor menyebut individu yang mereka tangani sebagai ‘klien’, bukan pasien, mengingat klien diharapkan proaktif dan perannya sangat menentukan keberhasilan proses konseling dan psikoterapi.

4) Konseling hanya untuk yang bermasalah saja.
Sangat jarang problem yang terjadi pada manusia sifatnya single-cause atau hanya disebabkan satu faktor saja. Penyebab persoalan manusia pada umumnya multi-faktor, terutama yang terjadi pada usia kanak-kanak dan remaja. Tentu saja faktor individu memainkan peran yang signifikan yang menyebabkan ia mengalami masalah. Namun, faktor yang sifatnya individual tersebut bisa jadi tidak akan ‘menganggu’ jika tidak terpicu oleh stimulasi lingkungan. Faktor eksternal yang menjadi pemicu timbulnya problem pada seseorang istilahnya adalah ‘trigger’. Dinamika ini menyebabkan kesembuhan individu klien lebih sulit dicapai jika tanpa dukungan dari orang-orang ‘penting’ (significan others) seperti orang tua, saudara kandung, pengasuh/care giver, guru, dan atasan jika yang bersangkutan sudah bekerja. Sehingga, jangan terkejut bila anda juga akan dilibatkan dalam proses konseling dan diminta untuk ikut pula melakukan perubahan layaknya seorang klien demi membantu percepatan kesembuhan atau memulihkan kesehatan mental orang terdekat anda. Ini juga mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dimana keputusan dan perilakunya seringkali merupakan respon dari stimulus yang diterimanya dari lingkungan.

5) Ketika Psikolog memandang mata anda, maka ia sedang ‘membaca’ kepribadian anda.
Ini juga pandangan keliru yang sayangnya masih banyak diyakini oleh sebagian masyarakat kita. Psikolog sebagaimana Dokter pada dasarnya adalah seorang ilmuwan. Sebagai seorang ilmuwan di bidang perilaku manusia, maka setiap pendekatan dan teknik intervensi yang digunakan di ruang prakteknya harus memiliki pijakan empiris berupa teori dan data. Sama dengan Dokter, Psikolog juga harus mendiagnosis sebelum melakukan intervensi atau treatment terhadap kliennya. Yang sangat mungkin terbaca oleh Psikolog ketika ‘menatap’ mata anda adalah hasil observasi mengenai bahasa tubuh dan emosi anda. Benar bahwa hasil observasi adalah data, namun akan sangat sedikit (insufficient) untuk ‘membaca’ kepribadian anda yang super kompleks itu dalam waktu singkat. Dengan demikian, akan sangat tidak ‘fair’ pula bagi anda jika dinilai hanya berdasarkan hasil observasi saja. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, Psikolog perlu menghimpun data tambahan sebelum menarik kesimpulan, yang biasanya didapatkan melalui wawancara yang lebih mendalam, angket evaluasi diri, dan tes-tes psikologi.

6) Psikiater lebih profesional daripada Psikolog karena dapat meresepkan obat.
Meski sama-sama praktisi kesehatan mental, Psikiater dan Psikolog menggunakan metode yang berbeda dalam menangani klien. Jika Psikolog bertumpu pada aktifitas ‘mendengar-aktif’ dan ‘komunikasi persuasif’ untuk mendorong kesembuhan kliennya, maka sebagaimana Dokter pada umumnya, seorang Psikiater berwenang untuk meresepkan obat-obatan di luar dari pendekatan di atas. Sayangnya, tidak semua problem psikologis dapat dihilangkan dengan penggunaan obat. Beberapa klien melaporkan kurang merasa terbantu meskipun telah mendapatkan resep obat dari dokter ahli jiwa/Psikiater. Jika pun ada, maka efeknya sementara saja bahkan bisa menimbulkan adiksi dalam jangka panjang. Dalam prakteknya, Psikolog dan Psikiater bekerja bahu membahu untuk membantu memulihkan kesehatan mental seseorang. Kembali lagi kepada tingkat keparahan yang ditetapkan dari proses diagnosa karena cukup banyak kasus yang berhasil ditangani ‘hanya’ melalui konseling dan psikoterapi saja. Beberapa kasus memang harus didahului dengan penanganan psikiatri misalnya mereka yang mengalami hendaya sangat berat seperti berhalusinasi, sulit tidur, energi berlebih/mania, tidak mampu bergerak/stupor, tidak mampu menahan impuls seperti kasus hiperaktivitas, dan adanya indikasi menyerang atau membahayakan lingkungan. Setelah hendaya di atas berhasil dikendalikan dengan terapi obat, maka ‘pasien’ akan dirujuk ke Psikolog untuk menjalani tahap rehabilitasi dimana pada tahap ini ‘klien’ akan dipulihkan harga diri dan kepercayaan dirinya kembali supaya dapat menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Walau sangat disayangkan karena untuk gangguan jiwa tertentu, seorang penderita dapat terus menjalani terapi obat sepanjang sisa hidupnya meskipun sudah memasuki tahap rehabilitasi.

Demikian beberapa stigma yang seringkali menghambat langkah seseorang untuk mendapatkan bantuan profesional ketika merasa mengalami ketidakseimbangan mental. Ingatlah bahwa kesehatan mental tidak kalah penting dengan kesehatan fisik. Segera cari tahu profesional kesehatan mental di sekitar anda untuk mendapatkan pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan ketika anda atau kerabat anda membutuhkannya.


Semoga bermanfaat.

Oleh: Desi Astanty - Psikolog
*Penulis adalah asesor dan konselor di Inner-Q Jambi